Madyamika & Sukhavati
A. Aliran Madhyamika
Filsafat Madhiyamika yaitu
yang berhubungan dengan diluar pengetahuan dan pengalaman
manusia biasa, bukan skeptis atau agnosticsm (suatu pandangan yang
beranggapan dengan rasio dan materi seseorang dapat mengenal kebenaran
Absolut), tetapi merupakan suatu keterbukaan untuk setiap orang yang ingin
mengenal dan merealisasikan kebenaran. Absolut dapat mengerti melalui kategori
dari pikiran ialah fenomena dan mengupas kategori ini ialah Absolut. Aliran
Madhyamika dikenal dengan sebutan sunyavada. Aliran yang konsisten dengan jalan
tengah Buddha (Majjhima patipada) dalam tatanan filosofis ini terkenal dengan
ajarannya tentang sunya (kekosongan ), sehingga disebut sunyavada.
Tokoh utama pendiri aliran
yang bersumber kepada prajna-paramita sutra ini adalah Nagarjuna yang
diperkirakan hidup sekitar abad pertama Masehi. Tokoh utama aliran Madhyamika
lainnya, Arya dewa dengan karyanya catuh sataka, serta penerus-penerusnya seperti
Buddhapalita, Bhavaviveva, Candrakirti dan Santideva.
Nagarjuna, tokoh terbesar
dalam aliran Mahayana menulis berjilid-jilid komentar atas prajna-paramita
sutra, yang terkenal sebagai Mahaprajna-paramita-sutra (Risalah besar tentang
kebijaksanaan sempurna). Ajaran aliran ini berpengaruh luas terhadap
aliran-aliran Mahayana lainnya. Di cina ajaran aliran Madhyamika berkembang
berkat kumarajiva yang sekitar tahun 402-405 menterjemahkan kedalam bahasa cina
mahaprajnaparamita-sutra karya Nagarjuna.
Sejumlah tulisan karya
Nagarjuna merupakan isi ajaran aliran Madhyamika. Diantarnya terdapat dua
risalah kefilsafatan Nagarjuna, yaitu:
1. Mulamadhyavartani-karika
atau pokok-pokok jalan tengah,
2. Vigrahavyavartani atau
penghindaran Bantahan-bantahan.
Risalah-risalah
kefilsafatan lainnya, misalnya:
1. Sunyata-saptati (tujuh
puluh bait tentang kekosongan )
2. Yuksti-sastika (Enam puluh
bait tentang pertautan )
3. Vaidalyaprakarana
(keterangan tentang vaidalya sutra)
4. Suhrlekha (surat persahabatan)
5. Rajaparikatha-Ratnamala
karangan-karangan permata Nasehat kepada Raja)
6. Catuhstava (empat Himme)
7. Dasabhumivibhasa-satra
8. Ratnavali
9. Pratityasamutpadahrdaya
10. Vigrahavyavartani.
Terdapat tiga teks penting
karya Nagarjuna yang ditemukan dalam bahasa Cina, dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam tradisi Madhyamika Cina serta aliran-aliran seperti Tanah
Suci, Sukhavati. Ketiga teks adalah:
1. Mahaprajnaparammita-sastra;
penjelasan tentang (sutra) kesempurnaan kebijaksanaan.
2. Dasabhumivibhasa-sastra;
penjelasan tentang pencerahan melalui sepuluh tahapan Bodhisattva.
3. Dvadasadvara-sastra;
penjelasan tentang Duabelas rangkaian pintu-masuk.
Risalah yang ketiga, bila
digabung dengan karika dan dengan catuh sataka karya Arya Dewa, merupakan
tiga-risalah yang menjadi sumber atau garis keturunan Madhyamika di atas
timur; San-lun dii Cina, atau Sanron-Shu di Jepang. Aliran
Madhyamika merujuk kembali kepada karakter ajaran Sang Buddha sebagai
Madhyamapratipad atau Jalan Tengah. Karenanya, Nagarjuna menamakan
sistem filsafatnuya dengan nama Madhyamaka atau Madhayama-sastra, nama yang
tepat untuk ajaran yang maksudnya, sedangkan Madhyamika adalah para
penganutnya.
Prajnaparamita sutra yang
menjadi sumber aliran Madhyamika adalah sutra tentang kebijaksanaan sempurna,
yang melimputi:
1. Astasahasrika
2. Satasahasrika
3. Pancavimsatisahasrika
4. Astadasasahasrika
5. Hrydaya sutra
6. Varjracchedika sutra.
Ajaran aliran Madhyamika
tidak bisa dipisahkan dari Nagarjuna, karenanya perumusan aliran Madhyamika
yang berarti jalan tengan tidak bisa dilepaskan dari sejarah intelektuil dan
spirituil pendirinya, Nagarjuna yang mengalami tradisi Abhidharma dan
Prajnaparamita. Kaum Abhidharma menjalankan praktik buddhis awal dengan
mendefinisikan dan merenungkan faktor-faktor kerja sama (dharma) dalam muncul
dan lenyapnya segala sesuatu (realitas). Teks-teks Abhidharma, yang dipelajari
Nagarjuna dalam aliran Sarvastivadin (leluhur mahayana, pemisahan dari kaum
sthaviravada) ia menganalisa, menjelaskan, dan mensistematisasikan ajaran
Kanonik awal Sang Buddha menerangkan tentang keberadaan, sebab-sebab dan
kondisi-kondisinya, serta kebebasan dari kebodohan dan penderitaan.
Bagi kaum Abhidharma, usaha
untuk itu bukanlah bersifat spekulatif, melainkan harus teruji dalam pengalaman
meditasi melalui suatu persepsi langsung terhadap faktor-faktor yang
mengkondisikan kemelekatan pribadi dan penipuan diri, kekhayalan. Misalnya
penyadaran yang waspada atas kesementaraan fakto-faktor indriawi, mental, dan
pikiran dalam kognisi (kesadaran penganalan), serta suatu skema klasifikasi
yang rinci dan beragam untuk memilih keadaan-keadaan persepsi dan kognitif yang
sesaat, serta penjabaran kondisi-kondisi yang berlangsung dalam kemunculan dan
kelenyapan segala sesuatu.
Hasil dari analisa
demikian, adalah penyadaran-langsung (dalam vipasana bhavana) bahwa manusia
tidak memiliki esensi-kekal (atman), dan bahwa hal-hal yang nampaknya substansi
hanya gabungan interaksi (pengaruh silang) faktor-faktor material, mental, dan
emosional yang terus menerus berubah. Dalam Prajnaparamita sutra, Nagarjuna
menemukan bahwa kesempurnaan kebersamaan terjadi atas pemahaman bahwa segala
sesuatu adalah kosong (sunya), bahwa tiada entitas-entitas yang
swa-ada dan tiada ciri-ciri hakiki dalam diri seseorang ataupun dalam
faktor-faktor kehidupan. Kebijaksanaan yang membebaskan adalah penghindaran
terus menerus atas kemelekatan bahkan ini pun berlaku terhadap cita-cita
spirituil seperti pencapaian nirvana kesempurnaan, kebijaksanana, atau latihan
jalan Bodhisatva. Dinyatakan bahwa kesempuurnaan kebijaksanaan (prajnaparamita)
pada dasarnya berhubungan dengan ”cara-cara bijak” (upaya kausalia) untuk
membantu pencerahan semua makhluk. Pendekatan kontemplatif dalam kondisi
Prajnaparamita ini adalah, dimana faktor-faktor kehidupan (dharma) tidak lagi
dianggap sebagai objek persepsi yang penting dalam meditasi, karena objek-objek
tersebut tidak memiliki ciri-ciri hakiki (sunya). Pembahasan tentang kausalitas
yang menjelaskan kemunculan keberadaan dianggap hanya suatu pemahaman terbatas
atas hakikat segala sesuatu dan bukan wawasan terang sejati.
Wawasan terang tertinggi
dirumuskan sebagai penyadaran bahasanya terdapat ketidak munculan,
ketidak-lenyapan kehidupan. Sedangkan mengenai gagasan spirituil adalah bukanya
keterlepasan dari kehidupan berkondisi (nirvana), karena usaha ini menyatakan
adanya suatu pembedaan hakiki antara nirvana dan samsara, melainkan dalam
cita-cita Bodhisatva dengan penyadaran atas ketidak-berinti (nisvabhava) segala
sesuatu dan kebebasan semua makhluk. Nagarjuna dalam karyanya mungulas
Prajnaparamita Sutra memberikan peranan sentral terhadap gagasan mengenai
kekosongan (sunyata). Menurutnya, penyadaran spirituil terdalam memerlukan
penggalaman bahwa segala sesuatu yang ada adalah kosong (sunya). Dalam Mulamadyhamika
Karika, Nagarjuna menyatakan bahwa pengalaman atas kekosongan (sunyata). Hal
ini senada dengan pernyataan Buddha bahwa siapa yang menyelami Pratitysamutpada
adalah menyelami Dharma.
Kejeniusan dan kreatifitas
Nagarjuna dalam mengangkat pemikiran filosofis ajaran Buddha tertuang dalam
ajaran-ajarannya yang membentuk aliran Madhyamika. Ajaran-ajarannya tersebut diantaranya
adalah:
1. Dialektika-Negatif-logis
dalam Tetralemma (Empat Dimensi Masalah) seperti: segala sesuatu yang
ada adalah: a). Bukan tak ada, b). Bukan ada, c). Bukan ada dan
bukan tak ada, d). Bukan ada atau bukan-tak-ada.
Kemudian apakah dunia itu
a). Kekal, b). tidak kekal, c). kekal dan tidak kekal, d). tidak kekal atau
bukan tidak kekal.
Adapun empat alternatif
berdasar atau Catuskoti atau Tetralemma Dialektika Nagarjuna yang masing-masing
mencerminkan tesis: a). Positif, b). Negatif, c). Conjungtif, d). Disjungtif.
Apapun pilihan dari keempat
alternatif tersebut bukanlah kebenaran, masing-masing keempatnya termasuk
pandangan yang spekulatif, entah itu Sasvata-vada; afirmasi yang absolut, atau
Ucchedavada; penolakan yang absolut. Conjungtif adalah perpaduan semu,
karenanya tidak mungkin begitu pun disjungtif, nihilisme sempurna. Jalan tengah
(Madhyamika pratipad) diajukan untuk menghindari kemutlakan keempat alternatif
tersebut, guna mengatasi kemelekatan, pandangan ekstrim yang sifatnya kritis;
mengkritik keempat alternatif tersebut sebagai suatu yang mustahil menjangkau
realitas (prasannapada atau reducitio adabsurdum). Realitas mengatasi
pemikiran. Dengan dialektikanya Nagarjuna menghindari jebakan-jebakan
dogmatisme yang dibangun atas rasio, realitas hanya terpahami dengan tumbuhanya
Prajna yang telah mengenali kemustahilan rasio.
2. Identifikasi
Pratityasamutpada dengan Sunyata
3. Kejelasan pemahaman tentang
dua tingkat kebenaran (konvensional dan Absolut atau Samvrti Satya dan
Paramartha Satya), yang mempunyai fungsi-fungsinya masing-masing dan manfaat
bagi ketidak- melekatan.
4. Realitas dan aktualisasi
pemahaman kekosongan (sunyata) dalam kehidupan dan dunia empiris. Bahwa
kehidupan (dengan sesama) merupakan wadah tidak penyelaman dan pemahaman
sunyata.
Nagarjuna dengan aliran
Madhyamikanya menganjurkan tiada henti terhadap: kebijakan pribadi seperti
penghormatan terhadap peninggalan-peninggalan Sang Buddha, kasih sayang
terhadap makhluk-makhluk menderita, kepatuhan terhadap moral. Pengemabangan
sikap-sikap yang mendukung Prajna, seperti ketenangan, ketidak-takutan,
ketidak-terikatan, dan sikap bersahabat, serta pemahaman dan penghargaan yang
positif terhadap dunia empiris yang tercermin dalam pergaulan dengan ilmu
pengetahuan dan perwujudan komunitas hidup bersama yang membawa kedamaian,
ketentraman, dan kesejahteraan.
Tri-sastra merupakan sebuah
sekte yang mewarisi pandangan Madhyamika dari Nagarjuna. Terdapat Filsafat yang
berisi tiga tujuan utama dari pandangan Tri-sastra yaitu:
1. Menyangkal pandangan-pandangan
yang salah dan menegakkan pandangan yang benar.
2. Membedakan Samvrti Satya/
Sammutti Sacca (kebenaran umum) dan paramartha Satya (kebenaran mutlak).
3. Mengenal delapan jalan
tengah penyangkalan: tidak lahir, tidak kekal, tidak sama, tidak
datang, tidak lenyap, tidak terputus, tidak ada, tidak pergi.
Dialektika Madhyamika
dimaksudkan sebagai alat untuk mengatasi dogmatisme, juga berfungsi sebagai
kritik dari teori-teori (sunyata sarva-drstinam) sehingga dikatakan bahwa
dialektika sendiri merupakan filsataf. Metode madhyamika bersifat negatif,
tetapi bukan hasilnya yang negatif. Penyangkalan terhadap pandangan-pandangan
dari kenyataan bukanlah penyangkalan terhadap kenyataan, mereka menyangkal
pandangan-pandangan yang keliru secara dialektika sebagai alat tersebut
merealisasikan kenyataan.
Menurut kaum Madyamika,
pembebasan terakhir hanya akan dapat direalisasikan melalui pengertian terhadap
sunya, yaitu dengan melepaskan semua pandangan, pendirian serta pendapat. Tidak
dapat memaksa orang lain untuk menerima apa yang kita anggap positif mengenai
pandangan kita dan menentang orang lain. Hal tersebut tergantung pada usaha
orang untuk mengerti dan merealisasikan suatu pandangan, karena sifat-sifat
dari pembatasan dan menentukannya, terbawa oleh sifat dualisme itulah akar dari
samsara.
Nagarjuna berkata secara
dialektik ”bila aku” telah ditentukan, maka keadaan lawannya, akan
menentangnya, dengan pembagian-pembagian dari ”aku” dan ”bukan aku’; maka
kemelekatan dan kebencian akan timbul. Samsara justru berada sepanjang
kemelekatan terhadap aku, keadaan, (paksa) mengakibatkan keadaan yang
berlawanan (pratipaksa) sedangkan dari keduanya mereka adalah nyata. Dengan perkataan, dengan
berpegangnya pada pandangan akan timbul kemelekatan dan kebencian.
B. Aliran Sukhavati
Aliran Sukhavati adalah
aliran Buddhis yang berdasarkan bakti puja terhadap Amitabha Buddha sebagai
salah satu Dhyani Buddha yang berada di sebelah barat/loka ini yang disebut
Sorga Sukhavati (alam yang penuh kebahagiaan, ketenangan, kedamaian). Aliran
ini tidak menitik beratkan pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra yang berat
atau meditasi yang berat, tetapi yang terpenting adalah pematuhan terhadap sila
terutama yang berhubungan dengan pancasila serta sila yang berhubungan dengan
apa yang dilakukan oleh ucapan, badan jasmani, dan pikiran.
Dengan bakti terhadap
Amitabha Buddha serta Avalokitesvara dan Mahasthmaprata Bodhisatva serta
Bodhisatva lainnya, seseorang dengan pasrah dan khusus menyerahkan diri pada
kekuatan maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha beserta
Bodhisattva Mahasattva lainnya. Didalam bakti puja dan tanpa memikirkan hal-hal
yang bersifat rasional. Yang ada hanyalah bakti puja dan penyerahan total
terhadap maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha serta
Bodhisatva lainnya dan secara psikologis berusaha membebaskan pikirannya
sendiri dari kekalutan dan kegelisahan. Segala pemikiran dikesampingkan, yang
penting penyerahan diri serta bertobat dengan mengulangi sebutan mulia “Namo
Amitabha Buddha (Namo O Mi To Hut/ O Mi Tho Fo)”. Pengulangan sebutan mulia
tersebut akan membangkitkan kebuddhaan yang terdapat di dalam diri dan
mengaktifkannya untuk melakukan kebajikan dalam maitri-karuna.
Dunia kita ini penuh dengan
hal-hal yang yang menyedihkan, yang tidak menyenangkan, hal-hal yang tidak
kekal, karena itu seseorang, jika seseorang tidak dapat megatasi
penderitaan-penderitaannnya dan kesulitannay, harus menyerahkan diri sepenuhnya
di atas jalan bakti puja dengan mencari sesuatu ketenangan batin, kedamaian
hati dan ‘kekekalan’: dengan demikian, pemikiran yang rasional dikesampingkan.
Dengan pematuhan terhadap sila, itu berarti setiap manusia harus bertanggung
jawab terhadap perbuatannaya, perbuatan yang dilakukan melalui ‘ucapan’, ‘badan
jasmani’, dan ‘pikiran’. Banyak kejadian didunia ini serta karma yang berubah
justru dilakukan oleh manusia melalui ucapan, badan jasmani dan pikiran. Dengan
penyerahan diri di dalam bakti puja juga berarti seseorang harus memperhatikan
apa yang dia lakukan di dalam kehidupannya. Ini bukan berarti dengan bakti puja
seseorang berusaha meloloskan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baiknya.
Dengan metode penyerahan
diri di dalam bakti puja dan pelaksanaan sila didalam kehidupan sehari-harinya,
seseorang berusaha untuk menjadi manusia yang baik sesuai dengan pandangan
buddhis.
Aliran atau sekte Sukhavati
ini sangat populer, karena aliran ini menitik beratkan pemujaan terhadap
Amithabha. Dikatakan Amitabha tinggal di Sukhavati, yang berarti alam atau bumi
yang penuh dengan kebahagiaan. Sukhavati juga berarti kebahagiaan terluhur atau
tanah suci Buddha Amitabha.
Dalam aliran ini dikenal
istilah Buddha ksetra, yang berati adalah daerah kekuasaan atau alam Buddha;
berupa suatu sistem dunia dimana seorang Buddha tertentu tinggal mengajarkan
dharma pada makhluk-makhluk untuk membantu mereka mencapai pencerahan batin.
Buddhaksetra tersebut
diluar dari triloka atau tiga rangkaian dunia yang terdiri dari: dunia
keinginan atau kamaloka, dunia bentuk atau rupaloka, dan dunia niskala atau
arupaloka. Karenanya Buddhaksetra tersebut bersifat ideal dan lokuttara (adi
duniawi, transenden), dan dikenal dengan sebutan Tanah Suci. Sukhavati tempat
Buddha Amitabha.
Amitabha sendiri secara
harafiah berarti: sinar atau cahaya yang tak terbatas. Ini berarti, sewaktu
seseorang dengan hati yang iklas dan khusus menyebut Namo Amitabha Buddha pada
waktu saat itu, moment pikirannya atau kesadarannya terarah pada maitri karuna
yang tak terbatas, laksana cahayanya yang menerangi segala penjuru dalam
semesta ini. Tanah cuci Sukhavati merupakan manifestasi Tathata atau
kedemikian. Keyakinan terhadap Buddha Amitabha merupaka hasil kontemplasi yang
dalam atas hakejat-Biddha, dimana semua ciri luar Sakyamuni dan semua kondisi
kehidupan duniawinya ditinggalkan, dan yang tersisa adalah Buddha ideal dengan
Pencerahan-Sempurna-Nya, yakni Yang Tak Terbatas (Amita) yang identik dengan
Tathata.
Amitabha secara dimensi
ruang berarti Cahaya-Tanpa-Batas atau disebut juga Amitayus. Bila ideal
mengenai nirvana yang tanpa ruang dan tanpa waktu, tanpa kelahiran dan tanpa
kematian. Tidak berubah atau tidak bergelombang itu terealisis, maka tidak lain
adalah Yang Tak Terbatas (Amita). Makhluk manusia masih berada dalam lingkup
fenomena dimana pengalamannya masih dibatasi oleh kategori-kategori pikiran.
Dan disyarati oleh kebodohan yang bersifat samvrti (duniawi, terbatas), dan
tidak dapat menjangkau Yang Mutlak (Dharmata). Yang mutlak pun tidak
mengajarkan kebenaran, karena Yang Mutlak adalah kebenaran itu sendiri. Hanya
seorang makhluk yang bersifat duniawi dan adi duniawi, satu kaki dalam fenomena
dan satu kaki dalam Yang Mutlak, baru dapat mengetahui yang mutlak dan
menunjukan jalan kepada makhluk-makhluk lain.
Karenanya dibedakanlah
antara Tathata (yang nyata, kebenaran mutlak) dan Tathagata yang mengetahui
kebenaran (Buddha). Atas dasar maha karuna (belaskasihan), seorang buddha turun
dari kedudukannya yang mulia untuk mengajarkan kebenaran pada semua makhluk.
Mereka yang menyebut Namo Amitabha Buddha adalah orang yang membangkitkan
kebuddhaan dalam dirinya dengan penuh kasih sayang dan welas asih terhadap
semua makhluk. Semasa hidup tekun menyebut Namo Amitabha Buddha, melaksanakan
pancasila, Maitri dan Karuna agar terlahir di sukhavati.
Sutra-sutra yang menjadi
pedoman aliran Sukhavati antara lain:
1. Amitabha Sutra
2. Maha Sukhavati Vyuha
3. Amitayus Dhyana Sutra
Filsafat buddha yang
berdasarkan maitri karuna telah berurutan berakar di semua sekte atau aliran
buddhis lainnya. Hal tersebut lebih ditonjolkan di dalam pemikiran filsafat
mahayana. Hal ini dapat terlihat di dalam pemikiran cita-cita bodhisatva yang
berusaha untuk menyempurnakan dirinya di dalam dasabhumi dan berusaha sekuat
untuk mengembangkan maitri karuna yang tidak terhingga tehadap semua makhluk
hidup tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri.
Bakti puja terhadap
Amitabha dilakukan secara simbolis, figuris, serta personalis sebagai gambaran
dari ketuhanan yang maha esa dan surgavati sebagai gambaran dari nirvana secara
pemikiran awam dan filosofis.
Sumber utama mengenai
mitologi Amitabha dan Kitab Suci Utama dari aliran sukhavati meliputi:
1. Sukhāvati-Vyūha-Sūtra (atau
Sutra-Amitabha teksa pendek terjemahan: Kumarajiva).
2. Māha-Sukhāvati-Vyūha-Sūtra
(atau Sutra-Amitābha teks panjang terjemahan Bhiksu Yueh-Chih Lokaraksha tahun
186 M., Bhiksu Sanghavarman tahun 252 M.).
3. Amitāyurdhyāna-Sūtra (Sutra
mengenai Meditasi terhadap Surga Sukhavati, terjemahan dari Sansekerta ke
bahasa Mandarin oleh Kalayasa tahun 424 M.).
DAFTAR PUSTAKA
Jo Priastana, Dhammasukha. 1999. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.
Ming, Chau. 1987. Beberapa Aspek Tentang Agama Buddha Mahayana. Jakarta
T. Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Buhdayana Mahayana Indonesia.
Komentar
Posting Komentar